HALLOJABAR.COM ‐ Kota Bogor selain dikenal dengan julukan sebagai kota hujan dan pariwisata juga memiliki catatan sejarah yang menarik dan sangat termansyur.

Hal ini terjadi karena dahulunya di kota ini terdapat sebuah Keraton dan juga sebagai pusat pemerintahan dari Kerajaan Padjajaran.

Ini terbukti dengan banyaknya di temukan peninggalan-peninggalan dari kerajaan tersebut seperti prasasti maupun arca-arca batu, bekas benteng pertahanan dan lain lainnya.

Bahkan beberapa nama daerah/kawasan yang masih berhubungan dengan Kerajaan Padjajaran di abadikan hingga kini, salah satunya adalah nama kawasan Rancamaya.

Kawasan Rancamaya ini dahulu nya bernama “Sanghyang Rancamaya”.

Pada masa Prabu Susuk tunggal berkuasa (1382-1482), kawasan ini diurug oleh adiknya yaitu Sanghyang Haluwesi disebabkan angker dan sering meminta korban.

Kemudian di kawasan ini Sri Baduga Maha Prabu atau Prabu Siliwangi(1482-1521) membuat Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya.

Dan membuat tanda peringatan (berupa) Gu-gunungan dan di kawasan ini pula Prabu Siliwangi dipusarakan.

Sanghyang Rancamaya tercatat dalam dokumen atau sumber sejarah primer, yaitu dokumen tangan pertama yang disusun pada masa diberitakan masih menjadi saksi sejarah.

Dokumen yang dimaksud adalah “Carita Parahiyangan”, sebuah historiografi tradisional yang di tulis pada tahun 1580 Masehi.

Carita Parahiyangan ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna.

Naskah yang tebalnya 47 lembar itu ditemukan kembali pada abad ke-19 di daerah Ciamis dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nomor kode kropak 406.

Dalam Carita Parahyangan Sanghyang Rancamaya disebut sebanyak tiga kali yaitu pada waktu mengisahkan Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Prabu Susuk Tunggal.

Dan pada masa Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi berkuasa dan kemudian di pusarakannya di kawasan ini.

Penggalan dari isi naskah carita parahyangan sebagai berikut :

“Ndeh nihan tembey Sang Resi Guru miseuweukeun Sang Haliwungan, inya Sanghyang Susuktunggal nu munar na Pakwan reujeung Sang Haluwesi, nu nyaeuran Sanghyang Rancamaya.”

(“Inilah permulaanya, Sang Resi Guru mempunyai anak Sang Haliwungan, yaitu Sang Susuk Tunggal yang memperbaharui Pakuan dan Sanghyang Haluwesi yang mengurug Sanghyang Rancamaya”).

“Mijilna ti Sanghyang Rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udugbasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, Ratu Hyang Banaspati.”

(“dari Sanghyang Rancamaya ada yg muncul : nama kami sang Uugbasu, sang Pulunggana, sang Surugana dan Ratu Hyang Banaspati”).

“Di silihan ku Prebu, Nalendraputra Premana, inya Ratu Jayadewata, sang Mwakta ring Rancamaya, Lawasniya ratu telepuluhsalapan tahun.”

(“Diganti oleh Prabu, benar-benar putra mahkota yaitu sang Ratu jaya dewata yang dipusarakan di Rancamaya, lamanya jadi raja tigapuluh sembilan tahun”).

Pada masa Prabu Susuk Tunggal berkuasa(1382-1482) pada saat itulah beliau memperbaharui Pakuan dibantu oleh adiknya Sanghyang Haluwesi yang membantu mengurug (menimbuni) Sanghyang Rancamaya.

Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.

DiUrugnya Sanghyang Rancamaya oleh Sanghyang Haluwesi dikarenakan di sana (Sanghyang Rancamaya) disinyalir atau diduga tempatnya sangat angker.

Karena didiami atau dihuni oleh dedemit yang bernama Udugbasu, Pulunggana, Suragana dan Ratu Hyang Banaspati yang sering meminta tumbal nyawa manusia khususnya sepasang muda mudi.

Di dalam Pantun Bogor yang berjudul “Di saeurna talaga Rancah Maya” diceritakan bahwa di tengah ranca terdapat sebuah keraton.

Rajanya bernama Resi Niskala Nyura Maya, para prajurit dan rakyatnya mempunyai tampang yang sangat menyeramkan.

Setahun sekali meminta nyawa sepasang lajang muda mudi untuk dijadikan tumbal agar bisa mengurug /menimbun keraton itu.

Pada masa Prabu Susuk Tunggal itulah Sanghyang Rancamaya dibangun menjadi tempat berarti.

Kemudian Sanghyang Rancamaya menjadi tempat istimewa sehingga dipilih sebagai tempat dipusarakannya seorang raja besar.

Yaitu Sribaduga Maharaja atau Prabu Siliwangi yang memimpin Kerajaan Pajajaran selama 39 tahun.

Ada tradisi dalam kebudayaan Sunda lama, jika seorang raja wafat, biasa dipusarakan (abu-nya) di tempat khusus tertentu, yang tiap raja berbeda tempatnya.

Kemudian sebutan raja itu mengikuti nama tempat pusaranya seperti Sang Mwakta ring Rancamaya.

Istilah mwakta, dalam bahasa sunda dan jawa “kuna” mempunyai pengertian sama dengan ngahiang dalam bahasa sunda “baru” istilah tersebut bermakna nyawanya lepas dari raganya.

Pada tahun 1533 Prabu Surawisesa membuat sebuah Prasasti Batutulis, prasasti ini di buat untuk mengenang jasa ayahnya kepada negara yang sangat besar.

Sekaligus untuk memenuhi upacara “Sradha” (upacara keaggamaan setelah 12 tahun ayahnya wafat).

Adapun penggalan tulisan di Prasasti Batutulis sebagai berikut: Beliau yang membuat Sanghyang Telaga Rena Mahawijaya, dan membuat tanda peringatan (berupa) Gu-gunungan (bukit).

Yang dimaksud dengan Gu-gunungan adalah tanah yang di tinggikan meyerupai gunung tentu wujudnya lebih kecil dan lebih rendah dari gunung yang sebenarnya.

Wujud demikian dalam bahasa sunda di sebut pasir atau bukit dalam bahasa indonesia.

Bila dikaitkan gu-gunungan ini dengan kepercayaan Pra-Hindu, dari kebudayaan megalitik yang memilih tempat upacara keagamaannya di tempat-tempat model demikian.

Tempat demikian di sebut “Punden” selanjutnya tempat-tempat tersebut dianggap suci, kramat atau sakral.

Sribaduga Maharaja membangun gu-gunungan di maksudkan untuk menyempurnakan hasil kerja Sang Haluwesi yang menimbuni Sanghyang Rancamaya.

Jadi untuk itulah dibuat punden sekarang punden tersebut di sebut Bukit Badigul.

Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena tampangnya yang unik.

Bukit itu hampir gersang dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti katel (wajan) terbalik.

Bukit-bukit di sekitarnya tampak subur dari jenis dan kehijauan tumbuh-tumbuhan.bukit badigul hanya di tumbuhi yang pendek dan tahan kering.

Mudah diduga bahwa punggung bukit itu dahulu dikerok sampai mencapai bentuk parabola sempurna, akibat pengerokan itu lapis tanah suburnya terkupas.

Dahulu tentu Bukit Badigul menjadi bukit punden (bukit pemujaan) bukit tempat berziarah yang dalam bahasa sunda biasa di sebut ngembang (tabur bunga) atau nyekar.

Mungkin dalam “Rajah Waruga Pakuan” yang dimaksud dengan “Sanghyang Padungkulan” itu bukit Badigul mengingat rajah ini menyebutkan tempat-tempat di sekitar Pakuan secara tepat.

Selanjutnya di “rajah lakon deugdeug pati jaya perang” di sana masih dapat mengenal Cirancamaya.

Kedua rajah tersebut berasal dari wilayah Periangan, rajah Waruga Pakuan (topografi Pakuan) ditulis di Sumedang.

Tetapi rajah itu memuat sungai-sungai kecil seperti Cipakancilan, Cirohana dan Cirohani.

Ia pun masih mengenal nama Suradipati (keraton induk) dan Prabu Susuk Tunggal.

Sementara itu berhubungan dengan pembangunan Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya, talaga (sangsakerta=tadaga) sebenarnya berarti kolam.

Tetapi orang sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi kata lain yang sepadan ialah situ (sangsakerta=setu) yang berarti “bendungan”.

Bila di teliti keadaan sawah di r
Ranncamaya dapat diperkirakan bahwa dahulu talaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki Bukit Badigul.

DI sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan bersebrangan dengan Kampung Bojong pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang dulu, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.

Talaga ini tentu lebih cendrung berfungsi sebagai tempat suci dan kramat serta sakral, di samping fungsi-fungsi lain (bendungan).

Kedekatan telaga yang dikramatkan dengan bukit punden bukanlah tradisi baru.

Menurut “Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadiwpa” parwa l sarga 1 pada masa Purnawarman, Raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci.

Yaitu di Gangganadi (setu Gangga) yang terletak dalam Kerajaan Indraprahasta (di Cirebon girang).

Setelah bermandi suci raja melakukan ziarah ke punden-punden yang teletak dekat sungai tersebut, mungkin di Pajajaran pun demikian.

Raja dan keluarga serta para pembesar bermandi suci di telaga Rancamaya kemudian melakukan ziarah dan ngembang di bukit Badigul.

Di dalam naskah “Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara” di ceritakan ketika di keraton Cirebon diadakan Gotrasawala (semacam seminar) mengenai sejarah nusantara, di sana disebut ada mahakawi (pujangga besar) utusan dari Rancamaya.

Menurut salah satu sesepuh Bogor konon dahulu di kawasan bukit Badigul Rancamaya terdapat beberapa alat gamelan sunda yang memiliki kekuatan magis, namun kini menghilang entah kemana.

Disebutnya nama Rancamaya di dalam beberapa sumber naskah kuno setidaknya menandakan bahwa nama ini mempunyai peranan penting dalam sejarah di tatar pasundan khususnya sejarah kerajaan pajajaran.

Pada tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah Situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari kira-kira 7.50 meter tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu pada setengah lingkaran.

Dekat makam yang jelas kuno itu terdapat pohon ampelas badak setinggi kira-kira 2.25 meter dan sebuah pohon beringin.

Dewasa ini seluruh situsnya sudah tidak ada dan makam kunonya di beri saung di dalamnya sudah bertambah kuburan baru.

Makam kunonya diganti dengan plesteran di tambah bak kecil untuk penziarah dengan dingding yang dihiasi dengan huruf arab makam ini di kenal dengan nama “Makam Mbah Punjung”.

Pada tahun 1982 terjadi kontrovesi di kalangan masyarakat Bogor mengenai Situs bukit Badigul

Pertama seiring dengan adanya rencana pembangunan di kawasan tersebut.

Kedua ditenggarai bahwa bukit Badigul sudah mengalami perubahan dari wujud aslinya dahulu dan struktur batu yang ada merupakan bangunan artifisial.

Pada awal pembangunan kompleks perumahan mewah dan padang golf di Rapncamaya pada tahun 1992-1993 warga setempat kembali menyampaikan keberatan.

Mereka berkeyakinanan di bukit Badigul terdapat sejumlah menhir prasasti serta beberapa makam keramat karuhun alias Raja Pajajaran.

Menurut salah satu warga sekitar, Ki Cheppy mengatakan warga merasa keberatan akan tetapi keluhan warga tak digubris.

Pihak pengembang tetap melanjutkan pembangunan dengan meratakan bukit Badigul hingga ketinggiannya berkurang sekitar 6 meteran.

Saat puncak Badigul telah tercukur 6 meteran muncul sebuah batu menhir sebesar mobil sedan, anehnya batu sebesar itu sama sekali tak goyang saat dibuldoser.

Penasaran dengan itu pihak pengembang mendatangkan dua becko untuk menarik batu kramat itu tapi dua becko itupun tak sanggup menggoyangkan batu itu.

Mengingat keanehan-keanehan yang terjadi akhirnya pihak pengembang sepakat untuk tidak memindahkan batu tersebut.batu itu tetap di tempatnya lalu di timbuni tanah dan di tanami rumput.

Masih menurut Ki Cheppy proyek ini telah memakan korban, sebanyak 114 orang telah tewas.

Ki Cheppy melanjutkan masih seputar fenomena mistik Badigul, suatu hari di tahun 1994 warga Bogor dihebohkan oleh penemuan telapak kaki raksasa di Batutulis dan Rancamaya.

Kejadian yang menghebohkan itupun diliput/diberitakan oleh media, di jalan Batutulis terdapat sebuah telapak kaki kiri sepanjang satu meter.

Di sebuah batang pohon jelas sekali telapak kaki itu bukan rekayasa manusia, sementara di Rancamaya juga terdapat sebuah telapak kaki kanan yang panjangnya sama dengan yang di temukan di batutulis.

Lalu orang berimajinasi kalau kaki itu adalah milik gaib Prabu Siliwangi, sang prabu sengaja mendatangi Batutulis kemudian loncat ke Rancamaya hanya dengan sekali langkah saja.

Tak cuma itu ternyata di sekitar puncak bukit Badigul terdapat empat telapak kaki yang panjang dan besarnya.

Sama “sang prabu ke batutulis lalu ke rancamaya dan mengelilingi puncak bukit badigul” begitu jelas Ki Cheppy ketika di tanyai wartawan saat itu.

Pada hari Minggu, 7 Mei 2017 ratusan budayawan Sunda dari berbagai komunitas yang datang dari berbagai daerah di Jawa-Barat.

Seperti Bandung Cirebon Tasikmalaya Karawang dan juga dari Jabodetabek, mereka berkumpul di Batutulis untuk melakukan napak tilas Prabu Siliwangi.

Dalam rangka memperingati hari kelahiran Raja Pajajaran tersebut,yang di yakini lahir pada tanggal 7 Mei, dalam napak tilas ini para budayawan akan berjalan kaki sejauh sekitar sembilan kilo meter yang di mulai dari batutulis menuju rancamaya dengan tujuan akan melakukan ritual budaya(berziarah)ke bukit badigul.

Namun para peserta napak tilas terhambat oleh hadangan dari pihak pengembang mereka tidak mengizinkan para peserta napak tilas untuk menggelar acara ritual budaya di situs bukit badigul.

Perdebatan alot pun terjadi antara pihak pengembang dan budayawan hingga akhirnya jalan tengah pun dicapai.

Para peserta napak tilas hanya boleh melakukan ritual budaya di gerbang perumahan yang terletak empat ratus meter dari situs Bukit Badigul.

Rancamaya secara administrasi adalah salah satu nama Desa di wilayah Kecamatan Ciawi-Kabupaten Bogor.

Kemudian pada tahun 1995 pemerintah Kotamadya Bogor melakukan pemekaran wilayah.

Desa ini secara resmi masuk kedalam wilayah Kecamatan Bogor-Selatan.

Selanjutnya pada tahun 2000 Desa ini di naikan statusnya menjadi kelurahan sehingga diwwujudkan menjadi Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor.

Seiring berjalannya waktu kini Sanghyang Telaga Rena Mahawijaya, Gu-gunungan. (bukit) dan situs lainnya sudah tak ada.

Kita hanya bisa mengetahuinya dari catatan-catatan sejarah yang tidak ada bukti fisik sebagai penguat eksistensinya di masa lampau.

Hidup adalah jalinan antara manusia, ruang dan waktu. manusia senantiasa akan berganti, ruang selalu berubah wujud, waktu tak pernah berhenti.

Ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu tak akan ada sekarang, ada masa silam ada masa kini tidak ada masa silam tak akan ada masa kini.

Ada tonggak ada batang tak ada tonggak tidak akan ada batang, bila ada tunggul tentu ada catangnya.

Peristiwa yang menyebabkan maha karya Sribaduga Maharaja ini menjadi hilang tidak perlu di jadikan sebagai suatu polemik.

Akan sangat bijaksana apabila dijadikan sebagai media intropeksi agar peristiwa yang sama tidak lagi akan terulang pada masa sekarang atau yang akan datang.

Sejarah perlu didudukan sebagaimana mestinya tanpa adanya distorsi, sebagai warisan yang perlu terus di jaga dan di lestarikan untuk generasi mendatang.

Diakui secara politis dan umum cikal bakal Bogor adalah Kerajaan Pajajaran.

Yang ada sekarang adalah hasil masa lampau dan yang di lakukan sekarang buat masa depan.

Oleh: Yan Brata Dilaga, Wartawan Budaya.***

Jasasiaranpers.com dan media online ini mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.